Record Detail Back

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Pasca-2009: Antara Harapan dan Keyakinan


Kelahiran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) pasca reformasi merupakan perwujudan harapan akan penegakan hukum anti-korupsi yang lebih baik lagi di Indonesia. Pengadilan ini dibentuk melalui UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan kekhususan yang terdapat padanya seperti keberadaan hakim ad hoc, pengkhususan KPK sebagai penuntut tunggal pada perkara yang dapat diadilinya, serta kedudukannya yang hanya ada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan yurisdiksi meliputi seluruh Indonesia, Pengadilan Tipikor diharapkan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Beberapa tahun pasca pendirian Pengadilan Tipikor, diputusnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 berimplikasi pada lahirnya UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) yang melakukan sejumlah perubahan signifikan. Beberapa perubahan sebagaimana diamanatkan UU tersebut antara lain Pengadilan Tipikor kini tersebar di seluruh provinsi, perkara yang ditangani dapat berasal dari KPK dan Kejaksaan, serta adanya diskresi Ketua Majelis untuk menentukan jumlah hakim ad hoc dalam komposisi majelis.

Kajian dan tulisan yang membahas mengenai kondisi Pengadilan Tipikor memang sudah marak didapati, namun belum ada yang secara komprehensif membahasnya dari perspektif kelembagaan. Karenanya, pada tahun 2020, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) bersama East West Center (EWC) melakukan riset yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja dan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi Pengadilan Tipikor di Indonesia saat ini guna mendorong penguatan fungsi dan kinerjanya di masa depan.

Riset ini dilakukan dengan melakukan kajian literatur dan peraturan yang tersedia, hasil observasi pada beberapa Pengadilan Tipikor, wawancara dan focus group discussion dengan pemangku kepentingan yang relevan, serta indeksasi terhadap 941 putusan perkara tindak pidana korupsi. Beberapa aspek penting Pengadilan Tipikor yang disoroti dalam penelitian ini antara lain mengenai pengaturan yang terdapat dalam kerangka hukum, peran dan kondisi hakim ad hoc dan hakim karier, dukungan kelembagaan pada Pengadilan Tipikor, hingga kondisi proses persidangan.

Tim Peneliti menemukan terjadinya inefisiensi pada berbagai aspek di Pengadilan Tipikor, di mana permasalahan ini membutuhkan penyelesaian secara strategis dan sistematis. Berbagai rekomendasi yang dirumuskan pada penelitian ini didasarkan pada temuan indikasi permasalahan tersebut. Tim Peneliti menyarankan perlu adanya pembaruan dalam manajemen organisasi Pengadilan Tipikor untuk dapat mendukung penanganan perkara secara efektif. Perhatian lebih banyak juga perlu dicurahkan pada pengelolaan sumber daya manusia di Pengadilan Tipikor sedari tahap rekrutmen dan pendidikan hingga penempatan, salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah dengan menerapkan sistem detasering sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam penelitian ini.

Dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, hasil riset ini diharapkan membantu menyempurnakan kajian mengenai Pengadilan Tipikor yang sudah ada sebelumnya. Lebih daripada itu, temuan dan rekomendasi yang diberikan diharapkan akan mampu memperkuat fungsi dan kinerja Pengadilan Tipikor dalam menjalankan peran dan memenuhi ekspektasi yang diberikan padanya. Dengan demikian, kesenjangan antara ekspektasi masyarakat dengan realita yang ada pada Pengadilan Tipikor tak lagi melebar.
Arsil - Personal Name
Astriyani - Personal Name
Muhammad Tanziel Aziezi - Personal Name
Dian Rositawati - Personal Name
11 PEN ars
978-623-95822-2-7
11 PEN ars
Book
English
The East-West Center (EWC)
2020
United States of America
xvii, 204p.; 23.5cm
LOADING LIST...
LOADING LIST...